Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Cover novel Tamalatea (Dok. Ipusnas)

Persahabatan yang terjadi antara lelaki dan perempuan meskipun berlangsung bertahun-tahun, tak menutup kemungkinan akan menerbitkan perasaan cinta di hati salah satunya, atau keduanya.

Dilema lalu bisa saja mewarnai ketika tengah menimbang-nimbang, apakah akan menaikkan level sahabat menjadi kekasih, dengan kemungkinan jika gagal maka semua persahabatan yang terjalin akan hancur? Atau tetap mempertahankan persahabatan meski dengan batin tersiksa karena menahan perasaan cinta?

Setelah membaca Tamalatea karya dari Ansar Siri, agaknya hal tersebut, bestfriend to lover trope, yang menjadi premis dalam novel terbitan Penerbit Clover ini.

Dikisahkan tentang Lila yang tinggal berdua saja bersama ibunya di sebuah rumah yang juga difungsikan sebagai kafe bernama Tamalatea. Lila bersahabat dengan Gio, salah satu karyawan mamanya, sejak keduanya duduk di bangku SMP.

Lila menyadari bahwa dirinya merasa cemburu ketika mendapati Gio kembali dekat dengan mantan pacarnya yang dulu telah meninggalkannya, Mega. Namun, Lila punya alasan kuat untuk menepis perasaan itu. Sebuah kehilangan di masa lalu yang tak ia inginkan terjadi kembali.

Di sisi lain, Gio juga cemburu ketika melihat Lila dekat dengan Devan, teman SMA-nya yang bertindak selaku mentor yang mendampingi Lila berlatih piano. Lila memang tengah mengikuti kompetisi Music in Your Soul yang membawa nama sekolahnya.

Tak seperti Lila yang memilih menyimpan rapat-rapat perasaannya, Gio terang-terangan mengungkapkan cintanya, meski Lila tak menanggapi dan berpura-pura bahwa peristiwa itu tak pernah terjadi.

Mungkinkah Lila menyembuhkan trauma atas kehilangannya dulu dan membuka hatinya untuk Gio? Ataukah Gio memilih kembali pada Mega, setelah lelah menanti kepastian yang tak kunjung diberikan Lila?

“Tamalatea berarti tak kunjung layu. Karena itu Tante menjadikannya nama kafe. Kafe ini adalah sumber kekuatan Tante. Tante harap kamu juga bisa bersifat tamalatea, tak kunjung layu. Jika pada akhirnya kamu memang mencintai Lila, perjuangkan. Kamu hanya perlu sabar menghadapinya.” (hal. 132)

Saya menyukai gaya bahasa Ansar Siri dan beberapa diksinya yang terasa puitis. Narasinya mengalir, ceritanya ringan, dan nyaris tidak ada typo.

Sayangnya, konflik yang diangkat hanya seputar hubungan Lila dan Gio. Tarik ulur perasaan mereka, cemburunya Lila, bingungnya Gio, lalu kehadiran orang ketiga dari masing-masing pihak.

Tadinya saya berharap, trauma yang melatarbelakangi ketakutan Lila akan sebuah kehilangan apabila ia memutuskan menerima cinta Gio, akan juga diangkat. Tentu itu akan menjadi side conflict yang menarik.

Bagian yang menceritakan Lila sebagai seorang pianis juga kurang dieksplor. Demikian juga dengan aktivitas Gio sebagai anak basket atau saat menjadi karyawan kafe Tamalatea. Bahkan kehidupan Gio yang punya adik mengalami lumpuh otak. Semua masih sangat bisa digali lagi daripada hanya sekadar menjadi tempelan. 

Namun, untuk sebuah novel bergenre young adult, Tamalatea sudah membawa semangat ‘tamalatea’ dengan sangat baik. Tak kunjung layu seperti cinta Gio dan ending-nya tentu saja tidak akan mengecewakan para penggemar novel remaja seperti Tamalatea.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Rie Kusuma