Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi tabung gas LPG 3 kg [Dok Pertamina]

Awal tahun baru biasanya membawa harapan, tetapi tahun ini, kabar kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) Gas LPG 3 kg sebesar Rp2.000 justru menjadi kejutan pahit.

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur Nomor 100.3.3.1/801/KPTS/013/2024 yang diterbitkan pada 24 Desember 2024, kenaikan ini resmi berlaku mulai 15 Januari 2025. Meski terlihat kecil, dampaknya tentu akan besar, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah.

Masyarakat bertanya-tanya, apa urgensi dari kenaikan ini? Apakah penyesuaian terhadap biaya distribusi dan subsidi yang terus meningkat?

Namun, apa pertimbangan ini sudah memperhitungkan beban tambahan bagi masyarakat kecil yang justru paling bergantung pada LPG bersubsidi? Seolah menguji daya tahan rakyat, kenaikan ini hadir di tengah tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Seorang warga tengah membeli Gas LPG 3 Kg di salah satu pangkalan di Semarang. [Dok Pertamina]

Kenaikan Harga, Solusi atau Beban Baru?

Kenaikan harga sering kali dibungkus dengan alasan "peningkatan efisiensi." Namun, bagi warga kecil, ini bukan soal efisiensi, melainkan kelangsungan hidup.

Dengan upah minimum yang stagnan dan biaya kebutuhan pokok terus meningkat, tambahan Rp 2.000 per tabung bisa menjadi pukulan berat. Ibu-ibu yang menggantungkan dapurnya pada LPG 3 kg kini harus lebih cermat menghitung pengeluaran.

Di sisi lain, pemerintah mengklaim bahwa kenaikan ini bertujuan memperbaiki mekanisme distribusi agar subsidi lebih tepat sasaran.

Tapi benarkah demikian? Banyak kalangan skeptis, mengingat masih ada kebocoran subsidi yang sering kali tidak menyentuh mereka yang benar-benar membutuhkan.

Ironisnya, kenaikan harga ini justru lebih terasa bagi masyarakat miskin yang hanya mampu membeli secara eceran, harga jauh lebih tinggi dibandingkan HET.

Ketimpangan Subsidi dan Peran Pemerintah

LPG 3 kg selama ini menjadi simbol subsidi pemerintah untuk rakyat kecil. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyaknya penyimpangan. Mulai dari kalangan mampu yang tetap mengakses gas bersubsidi hingga minimnya pengawasan distribusi.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah pemerintah sudah serius dalam memastikan subsidi tepat sasaran sebelum memutuskan kenaikan harga?

Selain itu, langkah pemerintah dinilai kurang transparan. Mengapa tidak ada pembicaraan terbuka dengan masyarakat sebelum keputusan ini diambil? Di tengah era digitalisasi, komunikasi langsung dengan rakyat harusnya menjadi prioritas, bukan hanya sekadar menerbitkan SK.

Siapa yang Terdampak Paling Besar?

Tak dapat dipungkiri, kenaikan harga ini akan lebih dirasakan oleh kelompok rentan. Pedagang kecil seperti penjual gorengan dan warung makan yang mengandalkan LPG 3 kg untuk operasional mereka menjadi salah satu pihak yang paling terpukul.

Harga makanan dan minuman kemungkinan akan naik, yang pada akhirnya merembet pada daya beli masyarakat secara keseluruhan.

Di sisi lain, masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat distribusi juga akan terkena dampaknya. Harga LPG di daerah terpencil cenderung lebih mahal karena tambahan biaya transportasi. Lantas, di mana peran pemerintah untuk melindungi kelompok ini?

Mengapa Kenaikan Harga Harus Dipertanyakan?

Ketika pemerintah mengambil keputusan seperti ini, perlu dipertanyakan apakah ada langkah alternatif yang telah dipertimbangkan.

Misalnya, mengurangi kebocoran subsidi atau memperbaiki mekanisme distribusi tanpa harus menaikkan harga. Alih-alih membebani rakyat kecil, fokus pemerintah seharusnya pada efisiensi dan transparansi sistem subsidi.

Kenaikan harga LPG 3 kg ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga ujian bagi pemerintah dalam menjaga kepercayaan rakyat. Jika terus-menerus membebani masyarakat tanpa solusi nyata, wajar jika rasa skeptis terhadap kebijakan pemerintah semakin menguat.

Kenaikan harga LPG 3 kg di awal tahun 2025 seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar menambah derita rakyat kecil.

Pemerintah perlu mempertimbangkan ulang kebijakan ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Masyarakat kecil butuh solusi, bukan sekadar janji atau alasan.

Indonesia adalah negara kaya sumber daya, tapi jika pengelolaannya terus membebani rakyat kecil, lalu untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dibuat? Semoga di masa mendatang, pemerintah lebih bijak dalam membuat keputusan yang berdampak langsung pada rakyat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah