Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) untuk RPJMN 2025-2029, saat pidato Prabowo Subianto memiliki agenda untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Lebih lanjut, Presiden menyebut bahwa kelapa sawit merupakan tanaman yang berkontribusi positif terhadap lingkungan.
"Gak usah takut katanya membahayakan deforestasion, namanya kelapa sawit yah pohon, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan, dia menyerap karbon dioksida," ucapnya.
Pernyataan itu jelas menuai reaksi keras dari para aktivis lingkungan serta berbagai pihak. Bagaimana mungkin, deforestasi tidak berbahaya? Padahal, kita ketahui bersama, deforestasi merupakan salah satu isu lingkungan mendesak di dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Adapun salah satu penyebab utama deforestasi adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, tak hanya soal lingkungan, masalah sosial-budaya juga menyertai di balik ekonomi kelapa sawit ini.
Misalnya, ada cerita yang jarang terdengar yakni derita buruh perempuan di lahan perkebunan sawit. Lantas, seperti apa ironi di balik industri kelapa sawit ini?
Pernyataan Sawit adalah Pohon Hutan: Logika Sesat Pembangunan Ekonomi
Pertama, pernyataan Presiden Prabowo mengenai kelapa sawit adalah pohon yang dapat menyerap karbon dioksida, rasanya juga harus kita perhatikan. Masyarakat jangan sampai terbawa pada logika sesat tersebut. Ahli, ilmuwan dan peneliti pun telah merespons hal tersebut.
Pernyataan Presiden ini jelas keliru secara mendasar. Kita bisa merujuk pada peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.23/2021, kelapa sawit tidak termasuk dalam kategori tanaman hutan.
Adapun sawit merupakan tanaman monokultur yang tidak mendukung keanekaragaman hayati layaknya ekosistem hutan asli.
Dengan demikian, seperti dijelaskan sebelumnya, penyebab deforestasi adalah masifnya industri perkebunan kelapa sawit. Selain itu, deforestasi demi membuka lahan kelapa sawit tidak hanya menghilangkan habitat satwa liar, namun juga berdampak pada pelepasan karbon dalam jumlah besar dari tanah dan vegetasi yang ditebang.
Dari literatur ilmiah pun telah menunjukkan bahwa sifat monokultur sawit menghasilkan lebih sedikit oksigen dan menyerap lebih sedikit karbon ketimbang hutan alami. Lebih lanjut, menganggap sawit sama manfaatnya dengan pohon hutan seperti pernyataan Presiden adalah pemahaman sesat dan keliru.
Presiden Prabowo berpendapat bahwa kelapa sawit merupakan produk strategis kebutuhan banyak negara. Dengan kata lain, memperluas perkebunan tentu akan memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Padahal, negara kita memiliki ragam komoditas lainnya yang bisa dikembangkan tanpa mengorbankan lingkungan.
Misalnya, sektor pertanian berkelanjutan atau pengembangan energi terbarukan. Kita lagi lagi bertanya, apakah dampak pembangunan ekonomi berbasis sawit ini terhadap masyarakat dan lingkungan telah diperhitungkan?
Derita Kehidupan Perempuan di Balik Industri Kelapa Sawit
Di balik ambisi proyek memperluas sawit yang diinginkan presiden, rupanya ada derita buruh perempuan. Ya, kita ketahui selama ini banyak perempuan yang bekerja di perkebunan sawit sebagai buruh harian lepas. Artinya, mereka merupakan buruh yang tidak memiliki jaminan kerja, meskipun telah bertahun-tahun mengabdi.
Padahal, pekerjaan para buruh perempuan di perkebunan tersebut sangat berat. Pekerjaan yang mereka lakukan antara lain merawat tanaman, membersihkan lahan, dan memupuk tanaman menggunakan bahan kimia berbahaya.
Hal yang memprihatinkan lagi saat perusahaan abai dan tak membekali para buruh perempuan dengan alat memadai, seperti pelindung diri baik masker atau sarung tangan.
Risiko yang ditimbulkan dari kerja berat itu antara lain para buruh perempuan mengalami masalah kesehatan seperti gatal-gatal, pusing, mual, bahkan ada yang hampir kehilangan penglihatan.
Ketika mereka jatuh sakit, biaya pengobatan pun harus ditanggung sendiri. Di sisi lain, saat mereka tak bekerja, artinya tak ada upah.
Hal ini telah menjadi sorotan seperti pihak Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) yang melihat adanya kelemahan pengawasan negara terhadap perusahaan sawit.
Perusahaan kerap mengabaikan hak-hak buruh perempuan yang sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bak jatuh tertimpa tangga, pemerintah pun juga seolah menutup mata terhadap pelanggaran ini.
Perbaikan Nasib Buruh Perempuan Perkebunan Sawit Lebih Mendesak, Bukan Perluasan Lahan
Dengan demikian, alangkah arif dan bijaknya jika pemerintah lebih memperhatikan dan memperbaiki nasib para buruh perempuan ketimbang sibuk dengan perluasan lahan.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan seperti (1) penegakan hukum, yakni pemerintah tegas menegakkan peraturan ketenagakerjaan di sektor perkebunan sawit, termasuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar hak buruh (2) perusahaan wajib melindungi para pekerja dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) (3) Buruh harian lepas harus juga berhak diberikan akses terhadap asuransi kesehatan dan jaminan sosial seperti BPJS (4) dan yang paling penting, pemerintah harus melakukan diversifikasi ekonomi yakni mengembangkan sektor-sektor ekonomi alternatif berkelanjutan sehingga tidak bergantung semata pada ekonomi sawit.
Penutup
Pernyataan Presiden Prabowo tentang sawit sebagai pohon yang tidak membahayakan deforestasi menuai reaksi keras dan kritik dari berbagai pihak. Hal itu telah menunjukkan adanya pemahaman sesat, serta mengabaikan fakta ilmiah.
Di sisi lain, kondisi lahan sawit yang ada saat ini telah menimbulkan berbagai dampak negatif dari segi lingkungan dan sosial. Dalam hal sosial, terutama nasib buruh perempuan di lingkup perkebunan sawit.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun demikian, pemerintah harus mengambil langkah bijak untuk memastikan pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan SDA.
Perluasan lahan perkebunan sawit kiranya harus mempertimbangkan segala dampak yang ada. Daripada hanya memperluas lahan perkebunan sawit, mengapa tidak pemerintah memperbaiki nasib para buruh perempuan yang menjadi korban sistem tak adil?
Indonesia dapat berpotensi sebagai pemain utama di panggung global. Dengan catatan, tanpa mengorbankan masa depan rakyat dan lingkungannya. Semoga.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pahlawan atau Pelaku? Ketika Orang Tua Terlibat dalam Masalah Anak
-
Dari Rumah ke Dunia Kerja: Tantangan dan Beban Ganda Ibu Pekerja Lepas
-
PPN Barang Mewah Naik, Kelas Menengah dan Bawah Pilih Belanja di Warung Kelontong Madura
-
Sistem Zonasi: Solusi atau Hambatan Menuju SDM Indonesia Emas 2045?
-
Bukan Materi, Hadiah Terbaik untuk Guru Adalah Apresiasi
Artikel Terkait
-
Membaca Arah Wacana Pemerintahan Prabowo Subianto Babat 20 Hektare Hutan: Benarkah Demi Ambisi Penuhi Kebutuhan B40?
-
Anak Buah Prabowo Subianto Bayarkan SPP Siswa SD Disuruh Belajar di Lantai Sampai Tamat
-
Di Balik Program Makan Bergizi Gratis: Mengapa Kebijakan Ini Memicu Perdebatan?
-
Usai Bertemu Prabowo, PM Jepang Mau Ikutan Nimbrung Program Makan Bergizi Gratis
-
Prabowo Bakal 'Ospek' Para Kepala Daerah Terpilih, Cak Imin: Itu Ide Lama...
Kolom
-
Serius Tanpa Harus Formal: Menulis dengan Gaya Kasual di Zaman Digital
-
Euforia 30 Tahun SM Entertainment, Pesta Bahagia tapi Rasanya Sedih
-
Di Balik Program Makan Bergizi Gratis: Mengapa Kebijakan Ini Memicu Perdebatan?
-
Privasi Tipis Era Digital: Kebiasaan Screenshot Chat yang Mengkhawatirkan
-
Self-Reward ala Gen Z, Motivasi atau Pemborosan?
Terkini
-
Bertahun-tahun Dikembangkan, Proyek Film Sleeping Dogs Berujung Batal
-
Menikmati Pesona Pulau Pari, Hamparan Pasir Putihnya Mampu Memanjakan Mata
-
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Kritik Sosial di Balutan Sastra Romantik
-
Perjuangan Balas Dendam yang Menegangkan dalam Series My Name
-
Jadi Guru Hwang Min Hyun, Intip Karakter Han Ji Eun di Drama Korea Study Group