Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Ilustrasi toko kelontong Madura (Tangkapan layar YouTube Jeda Nulis-Habib Jafar)

Setelah kabar kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menggema hingga menuai polemik beberapa waktu terakhir ini, Presiden Prabowo pun menetapkan kenaikan akan berlaku tahun 2025 mendatang untuk barang mewah.

Selain barang mewah, masyarakat tidak perlu khawatir karena kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan perbankan tidak akan terdampak. Seperti halnya, pelayanan umum dan jasa pemerintahan juga tetap bebas PPN.

Meski begitu, beberapa jenis barang yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah dan bawah diperkirakan akan mengalami gejolak harga.

Pasalnya, seperti akhir tahun ini saja, ada momentum Natal dan tahun baru 2025, secara seasonal harga barang dan jasa naik. Bisa dibayangkan bagaimana nasib di tahun depan? Dengan demikian, hal itu akan mengancam daya beli masyarakat, terutama bagi masyarakat kelas menengah dan bawah.

Jauh sebelum adanya wacana kenaikan PPN, selama ini kelas menengah sering merasakan dampak langsung dari kenaikan harga barang serta kebijakan ekonomi yang ada. Hal ini lantaran mereka menghabiskan sebagian besar penghasilan untuk kebutuhan konsumsi.

Sementara itu, pada masyarakat kelas bawah, pun juga akan menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Berbeda halnya dengan kelas menengah, pada masyarakat kelas bawah, pemerintah memberikan jaring pengaman berupa bantuan sosial (bansos). Akan tetapi, pada nyatanya adanya bansos ini tidak serta merta mencukupi semua kebutuhan.

Artinya, harus ada upaya strategi dan adaptasi untuk menghadapi tantangan (ekonomi) di masa depan, seperti halnya kebijakan PPN 12 % (untuk barang mewah). Namun ke depan, tentu akan ada dampak pada perilaku dan daya beli.

Menurut saya, ini menjadi momen bagi masyarakat baik kelas menengah dan bawah bisa mulai beralih atau menggalakkan pola berbelanja di ritel tradisonal seperti toko, kios, warung dan sejenisnya hingga pasar tradisional.

Masyarakat bisa memulai mengubah pola belanja, dari yang semula berbelanja di pusat perbelanjaan dan lainnya, agar beralih ke usaha-usaha kecil dan menengah.

Dengan demikian, berbelanja di ritel tradisional dan pasar bisa menjadi solusi untuk tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau.

Eksistensi Warung Kelontong dan Toko Madura  di Tengah Gejolak Ekonomi

Sebagai misal, fenomena di masyarakat terkait ritel tradisional yang menjadi sorotan adalah eksisnya toko madura di berbagai kota. Jauh sebelum mencuat kabar PPN ini, fenomena toko telah Madura mencuri perhatian sejak pascapandemi.

Merujuk namanya, toko Madura merupakan sejenis toko yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, dengan pemilik atau penjaga toko berasal dari suku Madura.

Maka tak heran, toko Madura, khususnya, menjadi pilihan favorit masyarakat kelas menengah hingga bawah. Bahkan, menurut survei, sebanyak 71% masyarakat kelas menengah lebih suka berbelanja di warung kelontong. Alasan mereka antara lain karena harga yang ditawarkan lebih terjangkau dan variasi produk tersedia ukuran kecil.

Ada keunikan dan kekhasan tersendiri yang dimiliki toko Madura. Di antaranya mereka memasang spanduk di depan toko yang tertulis ”Buka setiap hari” atau “Tutupnya kalau hari kiamat, tapi buka setengah hari”.

Bukan sekadar candaan, namun ada alasan di balik kalimat itu. Hal ini lantaran toko Madura memang membuka toko selama ”24 jam”. Rupanya, celah itulah yang mereka manfaatkan agar bisa bersaing dengan ritel pesaing.

Berbagai kebutuhan sehari-hari hingga bensin, mereka jual untuk menyediakan kebutuhan konsumen. Dengan membuka toko selama 24 jam, mereka bisa membantu jika ada orang membutuhkan bensin di malam hari, atau membutuhkan membeli barang tertentu saat toko lain belum buka.

Berbelanja di toko kelontong atau toko Madura, pembelian barang bisa dilakukan dengan sistem eceran atau lebih kecil. Hal ini lebih diminati oleh masyarakat karena dianggap bisa menyesuaikan dengan dana yang ada.

Hal yang lebih mengesankan lagi, ada juga mereka yang menerima pembayaran via QRIS sehingga semakin memudahkan pembeli dalam bertransaksi.

Selain itu, toko yang buka selama 24 jam ternyata menunjukkan etos kerja dari masyarakat Madura yang memang dikenal sebagai perantau dan pedagang yang gigih.

Penutup

Berita yang berkembang di akhir tahun ini, mulai 2025 nanti, akan dilakukan kenaikan PPN menjadi 12% untuk barang mewah. Meski begitu, ekonomi memprediksi akan ada gejolak harga.

Untuk itu, demi tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari namun tetap memiliki daya beli, maka masyarakat Indonesia perlu dan diharapkan lebih bijak dalam berbelanja.

Salah satu strategi yang bisa diterapkan di rumah tangga adalah mulai membiasakan dan berbelanja di warung kelontong dan atau di toko Madura. Di tengah kondisi ekonomi yang menantang ini, upaya bertahan hidup harus dipilih dengan cermat.

Salah satunya adalah berbelanja secara tepat, hemat, dan sesuai kebutuhan. Terlebih, bagi kelas menengah yang tidak mendapat bantuan sosial, berbelanja di warung kelontong dan toko Madura adalah alternatif memungkinkan demi menghemat pengeluaran.

Selain itu, upaya masyarakat untuk berbelanja di warung kecil nyatanya juga mendukung perekonomian lokal pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sekitar kita.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

hanifati radhia