Suara.com - Pada Kamis (9/1) pagi, sejumlah pesawat nirawak militer Israel terpantau melintasi beberapa kota di selatan Lebanon, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap gencatan senjata yang rapuh antara kedua negara.
Insiden ini terjadi bersamaan dengan sesi penting parlemen Lebanon yang dijadwalkan untuk memilih presiden.
Menurut Kantor Berita Nasional Lebanon (NNA), drone-drone militer tersebut terdeteksi terbang di wilayah Distrik Nabatieh mulai pagi hari.
Pelanggaran baru ini terjadi hanya beberapa jam sebelum kongres Lebanon bersidang untuk memilih presiden yang telah lama dinantikan, setelah posisi tersebut kosong selama lebih dari dua tahun.
Baca Juga: Cek Fakta: Video Tentang Ledakan Rudal di Tel Aviv Kiriman dari Houthi Yaman
Parlemen Lebanon tidak dapat memilih presiden baru dalam 12 sidang sebelumnya sejak masa jabatan Presiden Michel Aoun berakhir pada 31 Oktober 2022.
Pada Rabu (8/1), stasiun televisi Lebanon melaporkan adanya 19 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, sehingga total pelanggaran sejak 27 November mencapai lebih dari 400 kasus, yang mana termasuk menyebabkan kematian 32 warga Lebanon dan melukai 39 lainnya.
Perjanjian gencatan senjata ini ditujukan untuk mengakhiri lebih dari 14 bulan konflik antara militer Israel dan kelompok Hizbullah, yang dimulai akibat perang Gaza pada Oktober 2023.
Sesuai dengan ketentuan gencatan senjata, Israel diharuskan menarik pasukannya secara bertahap ke selatan Garis Biru, yang berfungsi sebagai perbatasan de facto, sementara tentara Lebanon harus dikerahkan di wilayah selatan dalam waktu 60 hari.
Data dari Kementerian Kesehatan Lebanon mencatat bahwa sejak serangan Israel ke Lebanon dimulai pada 8 Oktober 2023, setidaknya 4.063 orang, termasuk perempuan, anak-anak, dan tenaga kesehatan, telah kehilangan nyawa, sementara 16.664 lainnya mengalami luka-luka.