Scroll untuk membaca artikel
News / Nasional
Jum'at, 10 Januari 2025 | 18:48 WIB
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (tengah). (Suara.com/Faqih)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menanggapi soal penghapusan ambang batas dalam pencalonan presiden alias presidential threshold 20 persen. Menurutnya, bakal banyak anak bangsa yang bakal mencalonkan diri di Pilpres 2029 mendatang.

Founder Jimly School Of Law and Government (JSLG) ini menilai makin banyak capres akan membuat demokrasi makin berkembang. Jimly meyakini penghapusan ambang batas presiden dapat membuat bakal capres makin beragam etnisnya. Sehingga capres tak hanya didominasi suku tertentu saja.

"Itu menyalurkan suara boleh keturunan Aceh, Papua. Soalnya terpilih atau tidak belakangan. Kalau di tingkat kabupaten kota sudah ada biar inklusivisme demokratis makin berkembang," ujar Jimly dalam sebuah diskusi bertajuk Ngaji Konstitusi, dengan judul "Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Paska Putusan MK" di JSLG, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2025).

Meski demikian, lanjut Jimly, dirinya menilai harus ada mekanisme yang membatasi jumlah pasangan calon ([aslon). Sebab, perlu modal tingkat elektabilitas yang tak sedikit. Sehingga Jimly menduga jumlah capres tak akan mencapai belasan orang.

"Misal ndak mungkin lebih banyak dari 9 (capres) karena biayanya mahal Pilpres dan bohir-bohirnya juga ngitung potensi menangnya. Nggak ada orang mau buang uang percuma,” ucap Jimly.

“Jadi masyarakat akan ngerem sendiri, ada mekanisme kontrol sendiri. Jadi dari jauh hari nggak usah takut kebanyakan. Wong belum dites, belum dicoba. Simpan dulu ketakutan banyak calon," tambahnya.

Syarat Parpol Jangan Dipersulit

Sementara itu, Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) sekaligus anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menilai, agar syarat partai politik peserta pemilihan umum tidak dipersulit, paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) usai menghapus ambang batas presiden atau Presidential Threshold untuk Pilpres Tahun 2029.

"Jangan sampai atau tidak perlu ada perubahan syarat partai politik menjadi peserta pemilu. Karena sekarang persyaratan yang ada itu sudah salah satu yang paling berat, paling mahal, paling rumit, paling susah di dunia," jelas Titi.

Baca Juga: PT 20 Persen DIhapus, Jimly Asshiddiqie Sebut Ketakutan Anggaran Bengkak Tidak Beralasan

Ia menjelaskan, syarat parpol peserta pemilu yang telah diatur dalam Pasal 173 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah begitu sulit dan mahal.

Adapun beberapa persyaratan di antaranya ialah memiliki kepengurusan di 75 persen di jumlah kabupaten/kota di provinsi bersangkutan, dan memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota.

Selain itu, menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik.

"Jangan ada upaya dari pembentuk undang-undang untuk menciptakan barrier to entry baru (hambatan untuk berkompetisi) bagi partai-partai non-parlemen," kata Titi.

Terlebih, lanjut Titi, partai politik parlemen telah diuntungkan dengan adanya putusan MK Nomor 55/PUU/XIX/2020 yang memutuskan bahwa parpol parlemen tidak perlu mengikuti verifikasi faktual agar terdaftar sebagai partai peserta pemilu.

Titi mendesak, agar pemerintah dan DPR tidak melakukan manuver untuk memperberat partai non parlemen agar terdaftar sebagai partai politik peserta pemilu.

"Jangan sampai ada motif dari parlement untuk menghambat kompetitor dengan memperberat syarat menjadi partai politik peserta pemilu. Jangan lagi ditambah syarat yang aneh-aneh ini untuk motif menghambat kompetitor baru," terang Titi.

Diketahui, MK menghapus ketentuan ambang batas presiden dalam UU Pemilu, usai mengabulkan perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Dalam diskusi hybrid ini turut dihadiri oleh Founder Adikara Cipta Aksa, Geofani Milthree Saragih; Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Jamaludin Ghafur; dan Dewan Pakar JSLG, Taufiqurrohman.

Load More